Kesehatan Mental Narapidana yang Buruk dan Akses Terhadap Layanan Kesehatan Mental yang Memadai
M Dhadhat Wicaksana (Taruna Utama Politeknik Ilmu Pemasyarakatan Angkatan 56/Prodi Manajemen Pemasyarakatan Asal Muara Enim)--
Di balik tembok kokoh lembaga pemasyarakatan, tersembunyi sebuah krisis kesehatan mental yang akut.
Jauh dari gemerlap kota dan hiruk pikuk kehidupan, para narapidana mendekam dalam sunyi, dihadapkan pada realitas pahit yang kerap kali tidak terbayangkan oleh masyarakat luas.
Riset demi riset menunjukkan kenyataan yang mencengangkan: prevalensi gangguan mental pada narapidana jauh lebih tinggi dibandingkan populasi umum.
Sebuah studi di Indonesia menemukan bahwa 27% narapidana mengalami depresi, 31% mengalami kecemasan, dan 14% mengalami gangguan stres pasca-trauma (PTSD).
BACA JUGA:Diduga Ngantuk saat Mengemudi, Pickup L 300 Nyemplung ke Sungai Enim
Angka-angka ini bagaikan bom waktu yang siap meledak, menandakan sebuah krisis kesehatan mental yang terabaikan di balik jeruji besi.
Kondisi memprihatinkan ini diperparah dengan lingkungan penjara yang penuh tekanan dan stigmatisasi terhadap kesehatan mental.
Narapidana kerap kali menjadi korban pelecehan, isolasi, dan minimnya stimulasi mental.
Hidup dalam kondisi yang penuh sesak dan kumuh, dikelilingi individu dengan berbagai latar belakang dan permasalahan, tak heran jika kesehatan mental mereka kian terpuruk.
BACA JUGA:Ingin Mengabdi di Tanah Kelahiran
Tekanan psikologis yang diakibatkan oleh hukuman, penyesalan, dan ketidakpastian masa depan menjadi racun yang menggerogoti jiwa mereka.
Kesehatan mental yang buruk pada narapidana bukan hanya tragedi individu, tetapi juga bom waktu bagi masyarakat.
Narapidana dengan gangguan mental lebih berisiko melakukan tindakan kekerasan dan bunuh diri, sulit direhabilitasi, dan cenderung kembali ke dalam siklus kriminalitas.
Hal ini tak hanya membahayakan diri mereka sendiri, tetapi juga komunitas di sekitar mereka.