Pilihan Rakyat, Sengketa Pemilu, dan Wacana Hak Angket

--

Cukup banyak ragam dan bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu yang diantaranya adalah: “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar Pemilih; Setiap anggota PPS atau PPLN yang dengan sengaja tidak mengumumkan dan/atau memperbaiki daftar pemilih sementara setelah mendapat masukan dari masyarakat dan/atau Peserta Pemilu, atau Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye”. Ketentuan mengenai pidana Pemilu diatur dalam Pasal 476 sampai dengan Pasal 554. 

Uraian singkat di atas menjelaskan bahwa pada dasarnya UU Pemilu telah menyediakan sejumlah koridor atau mekanisme yang dapat digunakan para pihak yang merasa dicurangi atau melihat adanya pelanggaran dalam Pemilu. Khususnya untuk sengketa hasil pemilu yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi, patut dicatat bahwa putusannya akan bersifat final dan mengikat. 

BACA JUGA:Perangko Lelap

Hak Angket

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan hak angket? Pengertian Hak angket terdapat di dalam Pasal 79 Ayat (3) UU N. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), yaitu hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Kewenangan akan hak angket tersebut merupakan hak DPR yang diberikan oleh UUD 1945 khususnya dalam 20A UUD 1945 untuk menjalankan fungsinya selain hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat sebagaimana diatur di dalam Pasal. 

Melihat kepada muatan Pasal 79 ayat (3) tersebut kiranya penggunaan hak angket sebagaimana dimaksud oleh Ganjar Pranowo, yakni untuk mempersoalkan adanya dugaan kecurangan adalah tidak tepat. 

Paling tidak terdapat tiga alasan yang dapat penulis kemukakan yaitu: Pertama berbagai hal yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran administratif, dugaan kecurangan dalam proses penyelenggaraan pemilu maupun atas sengketa hasil sudah diatur termasuk mengenai mekanisme dan teknis penyelesaian sengketa dalam sebuah undang-undang yang bersifat khusus (lex specialis) yakni UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan UU No. 7 Tahun 2023 tentang Perubahannya. Sehingga apabila ada peserta pemilu yang ingin melakukan upaya hukum terkait sengketa hasil Pemilu harus dilakukan melalui Bawaslu, PTUN atau ke Mahkamah Konstitusi.

BACA JUGA:Tarif Tol Jakarta-Cikampek dan Jalan Layang Resmi Naik  

Kedua Hak Angket di dalam UU MD3 memuat rumusan yang sangat umum dan sama sekali tidak ditujukan bagi suatu bidang tertentu seperti Pemilu. Sehingga akan menjadi sangat tidak jelas, kemana ujung dari pelaksanaan hak angket tersebut. Oleh karena itu secara hukum tidak akan memberikan dampak apapun pada hasil Pemilu 2024. 

Ketiga, pewacanaan Hak Angket oleh sejumlah elit politik, apabila ditindaklanjuti oleh sejumlah anggota DPR bisa jadi hanya akan menyebabkan anggota DPR dan Partai politik tersebut terjebak dalam situasi sulit, yakni menjadi tidak popular di mata Masyarakat.

Sebab pada saat masyarakat sudah menjalankan kewajibannya untuk mengikuti Pemilu dan memilih capres-cawapres maupun caleg Pilihannya, para elit dan partai politik tersebut masih bermain-main dengan wacana hak angket tersebut yang hanya akan menguras energi bangsa secara percuma.

BACA JUGA:KPU Pleno Rekapitulasi Tingkat Nasional

Apalagi faktanya suara Ganjar-Mahfud jauh tertinggal dan berjarak sekitar 42 persen dari Paslon Prabowo-Gibran, kalau-kalau maksud Ganjar mengangkat wacana hak angket ditujukan untuk mendelegitimasi perolehan suara yang ada. Jauh lebih baik sebenarnya, bagi pihak-pihak yang mempersoalkan adanya dugaan kecurangan atau dugaan penggelembungan suara untuk mengumpulkan bukti-bukti yang kuat dan shahih untuk diserahkan ke Bawaslu atau PTUN maupun Mahkamah Konstitusi apabila hendak melakukan upaya hukum yang sungguh-sungguh, dengan mengingat adagium Actori In Cumbit Probatio, siapa yang mendalilkan, dialah yang membuktikan. (*/Doktor Hukum Tata Negara/Praktisi Hukum ) 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan