Potret Kekuatan Islam Modernis dan Tradisionalis
Salamun Ali Mafaz--
Oleh: Salamun Ali Mafaz*
BAGAI tersambar petir di siang bolong saat kubu lawan politik mengetahui perihal bersatunya dua kubu yang selama ini identik selalu berseberangan. Dua kubu itu bukanlah tim dalam sepakbola yang berjumlah segelintir orang saja, tapi dua kubu yang bersatu ini masing-masing sudah teruji dan nyata memiliki kekuatan massa di kalangan mereka.
Dalam perjalanan perpolitikan di Indonesia, Islam mempunyai peranan penting dalam menentukan arah kebijakan negara. Hal ini bukan semata dilihat karena hadirnya partai-partai Islam dalam kancah perpolitikan nasional kita, atau hadirnya politisi-politisi dari kalangan tokoh agama yang berkiprah di parlemen. Seperti kita ketahui bersama, penduduk di Indonesia mayoritas beragama Islam, tetapi andil partai-partai politik dalam merebut suara umat Islam masih belum berhasil. Hal ini terlihat dari kalahnya partai-partai Islam di dalam pemilu. Meski tidak heran saat kampanye simbol-simbol agama Islam kerap kali dijadikan alat untuk mendulang suara.
Sejarah perpolitikan di Indonesia mencatat bahwa masyarakat kita yang mayoritas Islam ini nyatanya lebih memilih partai-partai yang berasaskan nasionalisme dibanding dengan jargon agama. Bagi masyarakat muslim di Indonesia masih meyakini bahwa politik bukanlah tempat yang sesuai untuk mengaplikasikan ajaran agama Islam. Karena ajaran agama Islam hanya bisa diaktualisasikan di ruang-ruang pengajian di masjid maupun mushola, ajarannya hanya dapat dirasakan di ruang kehidupan nyata bukan ditampilkan pada ajang pertarungan di kancah politik.
BACA JUGA:Calon Haji Wajib Pemeriksaan Kesehatan
BACA JUGA:RSUD Rabain Raih Juara 3 Lomba Code Blue se-Indonesia
Sejarah akan terus dinamis, begitupun konstelasi perpolitikan di Indonesia. Seiring berjalannya dinamika perpolitikan di tanah air, masyarakat Islam sudah sadar betul betapa pentingnya aspirasi mereka disalurkan melalui jalur politik. Karenanya tidak heran partai-partai politik yang berbasiskan massa Islam identik menjadi representasi bagian dari organisasi keagamaan Islam yang berpengaruh.
Kekuatan Islam Modernis kalau merujuk hasil pemilu tahun 1955, perhelatan politik pertama sejak Indonesia merdeka berada di posisi keempat. Pada konteks Jawa Timur pemenang pemilu tahun 1955 adalah partai NU yang disokong kekuatan Islam tradisionalis, sementara kekuatan Islam Modernis melalui Partai Masyumi menempati posisi keempat saat itu dibawah PNI dan PKI.
Pada konteks potret politik saat ini kekuatan Islam modernis direpresentasikan oleh PKS dengan basis massa dari kalangan perkotaan. Sementara PKB merepresentasikan poros kekuatan Islam tradisionalis dengan lumbung suara terbesar dari warga nahdiyin. Masing-masing dari kedua partai politik ini tentu saja memiliki massa pemilih yang militan dalam mendulang suara partai. Dalam konteks perpolitikan saat ini, tentu saja bersatunya PKB dan PKS dalam mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar merupakan langkah maju menyatukan dua kekuatan kalangan Islam modernis dan Islam tradisionalis.
Menyatunya dua kekuatan ini di bersama Partai Nasdem yang lebih dikenal partai nasionalis membentuk poros koalisi bernama AMIN. Bersatunya kekuatan Islam modernis dan tradisionalis yang direpresentasikan oleh partai politik ini mengingatkan kita pada analisa Clifford Greetz yang menekankan adanya kelompok lain selain santri dan abangan yaitu kelompok priyayi. Dalam konteks koalisi AMIN ini kelompok priyayi identik dengan poros kekuatan Islam modernis, sementara kelompok santri identik dengan kekuatan tradisionalis. Masih menurut Clifford Greetz, menurutnya politik di Indonesia merupakan pertarungan politik antara ortodoksi dan sinkretisme.
Di dalam bukunya Islam dan Negara, Bachtiar Effendy memberikan analisa setidaknya ada lima pendekatan teoritis dalam memahami hubungan Islam dan negara. Salah satunya disebutkan teori Trikotomi yang menyebutkan bahwa karakteristik Islam di Indonesia tidak bisa dilihat secara tunggal khususnya dalam mengekspresikan keagamaan dan jalan politiknya. Karena pada dasarnya pemilih dari kalangan muslim memiliki karakter yang variatif yaitu kelompok fundamentalis, reformis dan akomodatif. Dalam konteks gerakan pasangan AMIN membenturkan kelompok fundamentalis dengan kelompok reformis sudah bukan lagi masanya, karenanya nyatanya kelompok yang dicap fundamentalis sudah tidak lagi memiliki wadah organisasi keagamaan yang sudah dibubarkan pemerintah, artinya bentur-membenturkan atau tuduh-menuduh fundamentalisme agama dalam kancah perpolitikan saat ini sudah tidak relevan lagi.
Tentu saja hadirnya pasangan AMIN mampu menyatukan kekuatan kelompok-kelompok ini, pasangan AMIN yang memposisikan sebagai gerakan Islam washatiyah, Islam jalan tengah yang menyatukan merupakan harapan masyarakat Islam di Indonesia. Pasangan AMIN selain mempererat jalinan ukhuwah Islam modernis dan tradisionalis juga menjelma menjadi sebuah kekuatan besar dalam konstalasi politik sekarang ini.
Potret kekuatan Islam modernis dan Islam tradisionalis pada pasangan AMIN dapat membaur melalui pendekatan kultural atau dalam istilah teoritis dikenal dengan pendekatan diversifikasi yaitu sebuah pola strategi politik dengan cara melakukan penyebaran kekuatan pada setiap pranata sosial, ekonomi, pendidikan, agama, seni dan budaya. Sehingga puncaknya nanti banyak tokoh Islam yang masuk ke dalam politik dan mengisi pemerintahan.
Saat ini, sebagai upaya untuk menyatukan umat Islam, jalan yang tepat yaitu dengan bersama-sama menyatu dalam barisan pasangan AMIN, mendukung figur Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar adalah keniscayaan dalam menguatkan barisan umat Islam, sudah saatnya kalangan Islam modernis dan tradisionalis bersatu, membawa perubahan, menciptakan sejarah baru bagi bangsa Indonesia. Kita tentu saja bangga dengan kerendahan hati, kebesaran jiwa tokoh-tokoh Islam baik dari kalangan Islam modernis maupun Islam tradisionalis yang bersatu demi tujuan bersama untuk masa depan bangsa Indonesia.