Bahkan bila dibandingkan dengan Juni tahun lalu (122,40), nilainya cenderung stagnan. Penurunan ini mencerminkan bahwa pendapatan petani tidak mengalami peningkatan sebanding dengan biaya konsumsi rumah tangga.
Padahal, sektor pertanian masih menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat perdesaan.
Jika kondisi ini terus berlangsung, ketahanan konsumsi masyarakat desa akan semakin rapuh, dan itu berarti sumber utama stabilitas ekonomi daerah ikut terancam.
Sementara itu, kebijakan moneter nasional juga memberikan dampak terhadap daya beli. Bank Indonesia memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan (BI-Rate) di angka 5,50 persen pada Juni 2025.
Keputusan ini merupakan bagian dari strategi menjaga stabilitas nilai tukar dan meredam tekanan eksternal.
BACA JUGA:Bukan Cuma Palembang! Jalan Tol di Sumsel Diam-diam Ubah Peta Ekonomi Pulau Sumatera
Namun, di sisi lain, kebijakan ini menyebabkan biaya kredit konsumsi dan usaha tetap tinggi. Pelaku UMKM kesulitan mengakses pinjaman berbunga ringan, sementara masyarakat umum lebih hati-hati untuk belanja besar karena cicilan yang mahal.
Dalam kondisi ini, pertumbuhan konsumsi bisa tertahan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam konferensi pers APBN Juni 2025, menyampaikan bahwa “stabilitas makro memang penting, tetapi kita tidak boleh membiarkan sektor rumah tangga menanggung tekanan secara terus-menerus.
Pemerintah akan menyeimbangkan kebijakan fiskal untuk menjaga konsumsi dan melindungi masyarakat berpenghasilan rendah.” Ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa keberlanjutan pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada kekuatan konsumsi domestik.
Senada dengan hal tersebut, Ekonom INDEF Eko Listiyanto mengingatkan bahwa kebijakan moneter yang terlalu ketat berisiko menghambat permintaan domestik.
BACA JUGA:Kopi Sumsel Tak Sekadar Pagar Alam: Ini Daerah Tak Terduga Penghasil Terbanyak di Indonesia
“Stabilitas moneter yang terlalu ketat dapat menggerus kekuatan permintaan. Daya beli masyarakat harus jadi perhatian utama jika ingin pertumbuhan ekonomi tetap inklusif,” ungkapnya dalam forum ekonomi nasional bulan lalu.
Ini menjadi peringatan bahwa keseimbangan antara pertumbuhan dan perlindungan konsumsi adalah tantangan nyata yang harus dijawab oleh daerah, termasuk Sumatera Selatan.
Di tengah situasi global yang juga tak menentu, tantangan menjadi semakin kompleks. IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia melambat menjadi 2,8 persen pada 2025.
Gejolak geopolitik, fragmentasi rantai pasok global, serta ketidakpastian harga energi menjadi faktor utama pelemahan ini.