PERINGATAN Hari Santri Nasional, 22 Oktober, bukan ritual tahunan tanpa makna; bukan pula semata arak-arakan drumband, tetapi butuh pemaknaan yang realistis, mengandung maslahat, dan bermanfaat jangka panjang. Perayaan Hari Santri Nasional akan selalu bertepatan dengan detik-detik menjelang perhelatan akbar nasional yang strategis, Pemilu. Ini artinya, santri dituntut memainkan peran sosial-politik sekaligus; menjadi santri dan menjadi warga negara. Menjadi santri berarti mengabadikan memori historis, tentang perjuangan alim ulama dari pesantren dalam melawan penjajahan, merebut kemerdekaan, mempertahankan serbuan negara asing, dan mengisi kemerdekaan dengan pemberdayaan umat. Menjadi warga negara artinya menjalankan tugas-tugas patriotik, membela bangsa dan negara, yang dalam praktek konkretnya bisa berupa mematuhi undang-undang dasar, menjaga NKRI, ideologi Pancasila, dan termasuk ikut serta mensukseskan Pemilu. Dalam rangka mensukseskan Pemilu, representasi santri sudah tampil ke panggung politik nasional. Mereka adalah pasangan Anies Rasyid Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar (AMIN). Anies Baswedan adalah seorang santri alumni Pondok Pesantren Pabelan, Magelang, Jawa Tengah. Selain santri, Anies juga sosok santri yang berhasil menjadi akademisi, tepatnya Rektor Universitas Paramadina. Sedangkan keluarganya juga akademisi. Ayahnya, Rasyid Baswedan, sempat jadi Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), pada periode 1990-1993. Demikian pula dengan Abdul Muhaimin Iskandar. Kesantriannya tidak diragukan lagi. Gelarnya adalah Panglima Santri, yang senafas dengan latar belakang pribadinya. Ia adalah cicit KH. Bisri Syansuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, sekaligus Pendiri Nahdlatul Ulama. Di Mambaul Maarif, Denanyar, inilah Muhaimin Iskandar mengenyam pendidikan kepesantrenan pertama kali. Setelah dari Denanyar, Muhaimin melanjutkan pendidikan pesantrennya di Lirboyo Kediri dan Gontor Ponorogo. Setelah itu, Muhaimin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Yogyakarta. Pasangan AMIN (Anies-Muhaimin) tidak pelak lagi merupakan representasi santri tulen. Latar belakang pasangan capres-cawapres ini menggambarkan visi masa depan mereka. Seperti pepatah; "dari santri, oleh santri, untuk santri" atau "dari pesantren, oleh pesantren, untuk pesantren ". Disebut dari santri, karena Anies dan Muhaimin adalah orang-orang pesantren. Dan disebut oleh pesantren, karena Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sejatinya, adalah partai politiknya kaum santri. Kemenangan PKB adalah kemenangan pesantren, kekalahan PKB adalah kekalahan pesantren. Dari semua partai politik yang akan bertarung pada Pemilu 2024, tidak ada satupun yang berani mengakui bahwa mereka adalah representasi kaum santri, lebih-lebih mengaku sebagai partainya pesantren. Sampai di sini, perjuangan terus-menerus dengan totalitas penuh kaum santri dan pesantren, lebih-lebih Nahdliyyin, tidak boleh berhenti. Mendukung AMIN sama saja membela kepentingan pesantren. Membela PKB sama saja membela partai sendiri. Dengan pemaknaan yang sedemikian rupa, momentum Hari Santri Nasional akan menjadi momen bersatu-padu kaum santri untuk mensukseskan AMIN, sehingga santri menjadi pemimpin nasional, bukan tim hore yang bersorak gemuruh di tribun. Jangan pernah bermimpi, kaum santri bisa dominan di luar partai PKB. Jangan berani berkhayal bahwa ada partai politik selain PKB yang 100% berjuang untuk kepentingan santri dan pesantren. Hari Santri Nasional akan menjadi romantisme belaka bila tidak didukung oleh peran sentral santri dalam pemerintahan. Jika ada santri yang tidak mendukung AMIN, maka layak kesantrianya dipertanyakan. Apa yang bisa diharapkan dari selain AMIN? Sejauh mana mereka bisa memastikan, selain PKB ada partai lain yang lebih berkomitmen untuk kepentingan pesantren? Mereka yang tidak mendukung AMIN adalah para santri yang tidak mempunyai komitmen untuk memjadikan santri sebagai agen utama, berperan aktif, memiliki kekuatan berdaulat, dalam membangun dan menentukan arah bangsa dan negara. Perlu diketahui, jumlah pesantren yang terdaftar di Kemenag sebanyak 39,043 pesantren, dengan jumlah santri sebesar 4,08 juta santri. Itu belum termasuk alumni, belum termasuk pondok pesantren dan santri yang tidak terdaftar di Kemenag. Satu hal lagi, kekuatan kultural pesantren adalah loyalitas. Santri dan alumni memiliki loyalitas yang tinggi terhadap kiai-kiai mereka. Dengan kalkulasi kasar saja, satu santri memiliki satu ayah dan satu ibu, maka sudah ada 12 juta santri yang memiliki idealisme kepesantrenan. Begitu pula dengan alumni pesantren. Satu orang alumni bisa memiliki satu istri dan satu anak, minimal. Jika minimal alumni 4 juta orang saja, maka akan ada 12 juta alumni yang memiliki visi ideal kepesantrenan. Jika ditotal secara kasar, akan ada 24 juta orang yang memiliki komitmen kepada pesantren. Kekuatan yang besar seperti ini sangat mengancam bagi orang-orang yang tidak simpatik terhadap pesantren. Satu-satunya cara yang efektif bagi mereka adalah memecah-belah komunitas pesantren, memisahkan santri dari Kiai; memecah belah suara di antara sesama santri. Sampai di sini, tidak ada pilihan yang lebih strategis selain persatuan dan kesatuan komunitas pesantren, baik antara santri dan kiai, maupun sesama santri, untuk membela kepemimpinan santri dan pesantren, dan lebih praktisnya lagi memilih AMIN di Pemilu 2024. (*/Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Teologi dan Filsafat; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politik dan Strategi; Alumni Universiti Malaya, Dept. Studi Strategis dan Pertahanan Internasional; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015)
Kategori :