Menyoal Idealisme Guru
--
Oleh: Fawaz Raihan Quthub
ENIMEKSPRES.CO - Bahwa manusia Indonesia yang terdidik atau setidaknya pernah mengenyam pendidikan semakin banyak adalah sebuah fakta yang menggembirakan.
Data menunjukkan sedikitnya 3,7 juta orang lulus SLTA setiap tahun, sebuah angka yang fantastis. Dibalik itu, Indonesia masih bergelut dengan persoalan moral ethic yang menggerogoti kehidupan bangsa.
Sebut saja indeks korupsi Indonesia yang masih menduduki peringkat 110 dari 180 negara. Negara yang tingkat korupsinya paling rendah adalah Denmark. Indonesia tingkat korupsinya masih sangat tinggi.
Data itu sengaja penulis hadirkan karena pada hakekatnya membangun manusia adalah membangun manusia beradab dan berkeadaban. Tulisan ini menjadi aktual karena baru saja kita merayakan hari Guru pada 25 November yang lalu.
Jika kita sepakat bahwa untuk mengentaskan penyimpangan moral itu dibebankan pada dunia pendidikan maka peran dunia pendidikan Indonesia belum maksimal.
BACA JUGA:Nataru Tidak Pengaruhi Ketersedian Bahan Pangan
BACA JUGA:Firli Bahuri Minta Maaf ke Presiden dan Masyarakat
Ada ketidak-simetrisan antar pembangunan sarana pendidikan dan kualitas belajar mengajar yang diharapkan mendongkrak moral ethic sehingga menjadi model peradaban bangsa.
Di hampir setiap ibukota provinsi bahkan kabupaten ada sekolah negeri yang diunggulkan bahkan walupun negeri ada yang berbayar yang nilainya lebih dari sekolah swasta.
Ada juga sekolah swasta yang diintegrasikan dengan agama yang dikenal sebagai sekolah unggulan versi swasta. Alumnus sekolah model ini sudah bertebaran di penjuru negeri, tetapi moral ethic bangsa belum terdongkrak juga. Hingga disini tidak salah juga jika mempertanyakan ketidakmampuan sekolah unggulan dan yang diunggulkan tadi dalam menyemai sebuah peradaban.
Tulisan ini akan memberikan porsi yang besar atas pembentukan moral etik di bangku sekolah. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Taugiene & Gaizauskaite tahun 2019.
Taugiene & Gaizauskaite menukilkan bahwa etika prilaku bukanlah sesuatu yg dipelajari melalui tutorial, brosur, atau workshop tetapi lebih kepada praktik dalam kehidupan sehari-hari yang tidak dibatasi ruang dan waktu.
Jika anak-anak melihat prilaku dan kebiasaan buruk selama masa sekolah, maka prilaku itu diyakini akan berlanjut ketika mereka masuk dunia kerja.