RUU Perampasan Aset : Antara Harapan dan Tantangan

Dr. Firmansyah, SH., MH. (Advokat dan Dosen di Muara Enim) --
SAAT ini, sorotan publik semakin kuat terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU)
Perampasan Aset Tindak Pidana. Sejak masa Presiden SBY maupun Presiden Jokowi telah diajukan RUU Perampasan Aset, tetapi hingga kini tidak kunjung disahkan oleh Parlemen. RUU ini menjadi tuntutan utama masyarakat karena dianggap senjata ampuh untuk memiskinkan koruptor dan mengembalikan kerugian negara.
BACA JUGA:5 Resep Telur Dadar Kreatif: Dari Tahu Lumat, Soun, Sosis, hingga Sambal Petai
Pada tahun 2024 misalnya, Kejaksaan Agung RI merilis total kerugian negera akibat korupsi mencapai Rp310,6 Trilun, dengan tingkat pengembalian melalui pidana uang penganti sebesar Rp44,1 Triliun.
Sementara, menurut laporan BPK tahun 2024 kerugian negara yang telah diselamatkan sebesar Rp56,9 Triliun. Data ini menunjukkan pengembalian kerugian negara masih sangat rendah.
Bahkan Indek Persepsi Korupsi (IPK) yang dilansir Transparancy International (TI) tahun 2024, Indonesia tercatat di angka 37 atau berada diurutan ke 99 dari 180 negara terkorup di dunia. Selama ini, proses pengembalian aset yang dikorupsi sangat bergantung pada vonis pidana.
Bagi seorang koruptor berhasil meloloskan diri dari hukuman penjara, aset tindak pidana korupsi sulit untuk dirampas. Kerugian negara yang seharusnya kembali ke kas negara justru lenyap begitu saja. Asetnya kerap kali disembunyikan, dialihkan atau bahkan dilelegalisasi melalui pencucian uang.
BACA JUGA:Rapat Paripurna Pandangan Fraksi Diwarnai Listrik Padam
Sejatinya, RUU Perampasan Aset telah memiliki landasan hukum yang kuat apabila mengacu kepada
Konvensi PBB Anti Korupsi, yakni The United Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003.
Indonesia merupakan salah satu negara peserta yang telah meratifikasinya dengan UU No 7 Tahun 2006. Salah satu poin dalam UNCAC adalah mendorong negara-negara anggotanya untuk menerapkan perampasan aset non-konvensional, atau yang dikenal dengan Non Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) yakni perampasan aset tanpa putusan pidana.
BACA JUGA:Fraksi PAN Minta Eksekutif Pro Aktif Tagih DBH Migas
Dalam Naskah Akademik RUU Perampasan Aset, setidaknya ada tiga paradigma perubahan dalam penegakan hukum pidana, yaitu : (1) pihak yang didakwa dalam suatu tindak pidana, tidak saja subjek hukum sebagai pelaku kejahatan, melainkan juga atas aset yang diperoleh dari kejahatan; (2)
mekanisme peradilan yang digunakan adalah peradilan perdata; (3) tidak dikenakan sanksi pidana terhadap pelaku sebagaimana halnya yang dikenakan pada pelaku kejahatan lainnya.