Kontrol diri, yang sering diasosiasikan dengan kepatuhan pada aturan militer, sebenarnya lebih efektif jika dikembangkan melalui pendekatan yang memadukan behavioral regulation (pengendalian diri) dan pemahaman emosional.
Misalnya, program pelatihan mindfulness atau manajemen stres dapat membantu siswa mengenali batas diri dan merespons tekanan dengan cara yang adaptif.
Meskipun banyak memberikan manfaat, pendekatan sekolah militer juga menuai kritik.
Terlalu fokus pada otoritas dan ketaatan dapat mengurangi kreativitas dan pemikiran kritis siswa.
BACA JUGA:Cegah Remaja Terjerumus Narkoba, Kepala BNNK Muara Enim Ajak Sekolah Perkuat P4GN
Risiko trauma psikologis jika metode disiplin diterapkan secara berlebihan atau tidak profesional.
Kurangnya personalisasi pendekatan sesuai dengan latar belakang psikologis masing-masing siswa.
Oleh karena itu, integrasi pendekatan psikologis dalam desain kurikulum dan pelatihan guru/pelatih sangat diperlukan untuk memastikan keseimbangan antara disiplin dan pengembangan potensi individu.
Dari sudut pandang psikologis, sekolah militer memiliki potensi besar dalam mengatasi kenakalan remaja melalui penerapan struktur yang jelas, penguatan perilaku positif, pengembangan identitas, dan pembentukan kontrol diri.
BACA JUGA:Ajang ARMI 2024: Kementerian Agama Undang Remaja Masjid dari Seluruh Indonesia
Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada bagaimana prinsip-prinsip psikologis diterapkan secara bijaksana dan manusiawi.
Integrasi antara disiplin ketat dan pendekatan psikologis holistik menjadi kunci dalam menciptakan generasi muda yang disiplin, berkarakter, dan produktif.
Sekolah militer bukan sekadar tempat menertibkan perilaku, tetapi wadah pembentukan manusia utuh yang siap menghadapi kompleksitas hidup.
Kuncinya adalah menyelaraskan disiplin dengan penghargaan pada kemanusiaan, sehingga setiap langkah kedisiplinan tidak hanya mengubah sikap, tetapi juga menyentuh hati dan memperluas cara pandang.
Seperti kata pepatah, "Berikan anak akar untuk tumbuh dan sayap untuk terbang."