Komunikasi budaya, seperti melalui kesenian dan tradisi masyarakat, dapat menjadi medium efektif untuk menyampaikan pesan transisi energi kepada publik.
“Nilai-nilai budaya lokal bisa dijadikan landasan dalam menyusun narasi energi bersih yang lebih membumi dan diterima masyarakat,” tambahnya.
Sementara itu, data menunjukkan bahwa pemanfaatan energi terbarukan di Sumsel masih minim.
Dari potensi sebesar 21.032 MW, baru dimanfaatkan 973,95 MW atau 4,63 persen. Padahal, potensi terbesar berasal dari tenaga surya, yakni sebesar 17.233 MWp.
BACA JUGA:Bukan Cuma Jawa! Sumsel Bangkit Jadi Magnet Ekonomi Lewat Energi Hijau dan Infrastruktur Canggih
Di sisi lain, PLTU batubara terus beroperasi. Bahkan beberapa unit baru, seperti PLTU Sumsel-8 di Tanjung Lalang, mulai beroperasi pada 2023.
Direktur Sumsel Bersih, Boni Bangun, menyebut kondisi ini kontradiktif dengan target nasional yang ingin menghapus PLTU pada 2040.
Untuk itu, Rabin menegaskan kembali bahwa transisi energi bukan hanya urusan pusat, tetapi juga menuntut komitmen kuat dari pemerintah daerah.
“Sumsel harus punya strategi komprehensif, tidak bisa lagi sekadar mengikuti arus. Rakyat butuh kepastian, bukan hanya janji,” pungkasnya.
BACA JUGA:Sumsel: Magnet Investasi, Proyek Infrastruktur dan Energi Hijau Siap Dukung Pembangunan Global!
Jika Sumatera Selatan ingin ikut dalam arus perubahan global menuju energi bersih, maka reformasi struktural hingga pada tataran sosial-budaya adalah syarat mutlak.
Seperti disampaikan PINUS, transisi energi yang adil adalah transisi yang berpihak pada manusia dan lingkungan secara bersamaan.