Flexing yang berlebihan bisa menimbulkan jarak dengan orang lain, apalagi ketika pelaku sulit menerima kritik.
Jika masyarakat sekitar mulai merasa terganggu, itu sinyal kuat bahwa perilaku tersebut sudah melewati batas wajar.
Meski demikian, Fionna mengingatkan pentingnya tidak sembarangan melakukan self-diagnose.
BACA JUGA:Apa yang Membuat Destinasi Sejuk di Sumsel Unik? Ini Alasannya!
BACA JUGA:Sumsel Buktikan Pembangunan Berkelanjutan Bukan Sekedar Wacana
“Jangan sampai asal menilai diri sendiri. Jika merasa terganggu, sebaiknya konsultasi dengan psikolog atau tenaga profesional,” katanya.
Langkah pencegahan utama, menurutnya, terletak pada kesadaran diri.
Setiap individu perlu menilai apakah kebiasaan flexing yang dilakukan masih dalam taraf sehat atau justru membawa dampak negatif.
“Pertanyaannya sederhana, apakah saya atau orang di sekitar sudah merasa terganggu dengan perilaku ini?” ujarnya.
BACA JUGA:Kalau jadi Dibangun Kawasan Ini Dijamin Tarik Investasi dan Ribuan Tenaga Kerja
BACA JUGA:Ingin liburan bergaya Eropa tapi kantong tetap aman? Datang saja ke Kebun Teh Dempo di Pagaralam
Fenomena flexing memang lekat dengan dinamika media sosial masa kini.
Platform digital menyediakan panggung bagi siapa saja untuk menampilkan versi terbaik dirinya.
Namun, penting untuk memahami batas antara ekspresi diri yang sehat dengan kebiasaan yang bisa menjelma tekanan psikologis.
Flexing tidak selalu identik dengan hal buruk. Selama dilakukan secara proporsional, ia bisa menjadi sarana apresiasi diri.
BACA JUGA:Dampak Ekonomi dan Sosial: Sumsel Jadi Pusat Distribusi Strategis Karena Jalan Tol