Ujung dari sebuah komunikasi, baik itu politik ataupun bentuk komunikasi lainnya, adalah hasil atau efek dari penyampaian pesan yang dilakukan. Pidato Presiden di acara rapat pimpinan tersebut diawali dengan penyampaian Presiden mengenai kondisi politik dan keamanan global. Pembahasan tersebut kemudian menjembatani pada penyampaian mengenai pencapaian pemerintahan Joko Widodo di mana Indonesia dikategorikan berada pada kondisi baik-baik saja di tengah kekacauan yang terjadi di ranah politik internasional. Pidato tersebut berujung pada himbauan pada pembangunan harus dilanjutkan secara berkelanjutan.
BACA JUGA:Samsung Galaxy A05 dan A05s, 2 HP Rakyat Terlaris Harga Terbaru per 29 Maret 2024
Ada dua agenda utama yang penulis tangkap dalam tindak tutur presiden dalam pidato kali ini. Tindak ilokusi pertama bersifat asertif, jika dikategorikan pada kategorisasi tindak tutur yang dikemukakan oleh John Searle (1979). Presiden membeberkan fakta-fakta untuk mengklaim bahwa kabinetnya telah bekerja dengan baik untuk mengamankan posisi Indonesia di tengah situasi politik dunia yang tidak stabil.
Tindakan tutur kedua yang dilakukan Presiden Joko Widodo adalah tindak tutur yang bersifar direktif yang bertujuan untuk mengarahkan peserta melakukan sesuatu. Tindakan tersebut terletak pada kalimat presiden yang menghimbau TNI dan Polri untuk masuk ke ranah teknologi pertahanan. Kalimat berikutnya yang bersifat direktif adalah arahan untuk melakukan Pembangunan yang berkelanjutan. Presiden Joko Widodo berkata, “Pembangunan harus dilakukan secara berkelanjutan, harus dilakukan secara konsisten.” Konklusinya adalah pemerintah saat ini sudah berhasil menjaga Indonesia dari ancaman politik global yang tidak stabil, sehingga perlu dilanjutkan oleh presiden selanjutnya. Pembaca tentu bisa menebak calon presiden yang ingin melanjutkan program Presiden Joko Widodo yang diklaim berhasil tersebut.
Norma hukum jelas tidak melarang presiden mengungkapkan pendapat seperti itu ataupun memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon. Presiden sendiri yang mengajarkan kita bahwa presiden Republik Indonesia boleh mendukung dan berkampanye kepada salah satu calon. Tidak ada yang salah dengan pidato ini dalam konteks norma hukum formal di Indonesia.
BACA JUGA:Pemkab Muara Enim Hibahkan Aset Senilai Rp1,9 Miliar ke Yayasan Masjid Agung
Presiden dalam kalimat tersebut seperti tidak memberikan ruang kepada perbedaan pemikiran dalam konteks demokrasi. Pidato untuk "Pembangunan yang berkelanjutan" seakan memberikan vonis pada kelompok perubahan sebagai kelompok yang tidak menginginkan kemajuan Indonesia. Mereka yang tidak sejalan dengan pemerintahannya, tidak boleh ikut ambil bagian dalam Pembangunan Bangsa.
Perbedaan pendapat, pergantian kepemimpinan secara individu ataupun kelompok yang menyertainya, adalah sesuatu yang lazim dalam pemerintahan yang dilakukan secara demokrasi. Semua calon presiden yang berkompetisi dalam Pemilu pasti menginginkan hal terbaik untuk Indonesia, terlepas dari cara dan juga ideologi yang berbeda-beda. Selama tidak bertentangan dengan konsitusi, semuanya memiliki hak yang sama untuk mengemukakan cara terbaik untuk mengelola Republik Indonesia.
Sulit untuk berbicara mengenai norma dalam latar waktu Pemilu 2024 ini. Konsitusi sebagai hal yang sakral dan menjadi pedoman dalam penyelenggaraan negara saja bisa dimainkan untuk memuluskan tujuan-tujuan tertentu. Norma sosial yang sifatnya konvensi tentu bisa dimainkan dan perlahan diubah untuk membenarkan tindakan yang diambil.
BACA JUGA:5 Rekomendasi Laptop Asus Windows 11 Murah Kisaran Harga Rp5-7 Jutaan
Pembangunan tentu akan terus berlanjut, siapapun presiden yang diumumkan sebagai pemenang. Seperti yang diungkapkan Presiden, situasi global yang tidak menentu membawa bangsa ini pada keharusan untuk terus memperbaiki diri.
Jadi jikalau penulis boleh bertanya pada Presiden Republik Indonesia, pembangunan yang berkelanjutan atau kekuasaan yang berkelanjutan?
*) Pengamat, Doktor Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran (UNPAD), Jatinangor