Para penjual seperti Mbah Damin berkeliling desa saat musim panen padi tiba, membawa aneka kopi dan jajanan, yang kemudian ditukarkan dengan gabah.
BACA JUGA:Kisah Cinta Harmonis Ikang Fawzi dan Marissa Haque: Perbedaan yang Saling Melengkapi
Uniknya, tidak ada aturan baku tentang berapa banyak gabah yang harus ditukar.
"Terserah keikhlasan pemilik lahan," ujar Mbah Damin dengan senyum bijak.
Ini menunjukkan bahwa transaksi ini lebih mengutamakan kejujuran dan rasa saling menghormati dibandingkan keuntungan semata.
Dulu, ada banyak penjual Kopi Ethek seperti Mbah Damin.
BACA JUGA:Kisah Perjalanan Kangen Band: Dari Awal Dibentuk Hingga Sukses di Kancah Musik Indonesia
Namun, seiring waktu, jumlah mereka semakin berkurang.
Meski begitu, di desa Pijeran, tradisi ini masih dipelihara dan diatur dengan rapi.
“Dulu ada banyak yang jualan Kopi Ethek begini, tapi sekarang hanya tersisa di desa Pijeran. Sudah jadi ciri khas di sini,” jelas Mbah Damin.
Menurutnya, pembagian wilayah jualan juga diatur agar tidak ada persaingan yang merusak harmoni. “Pak A jualannya di selatan jalan, Pak B di utara jalan,” tambahnya.
BACA JUGA:Kisah Julaibib, Tak Dianggap Manusia tapi Dipuji Rasulullah dan Dirindukan Bidadari
Mbah Damin bukan hanya sekadar pedagang, tetapi juga seorang penjaga budaya.
Setiap langkah yang ia ambil di jalan-jalan desa, dengan suara groboknya yang khas, adalah langkah-langkah pelestarian tradisi.
Ia mengajarkan nilai ketulusan dan kebersamaan, yang semakin langka di tengah dunia yang sibuk mengejar materialisme.
“Selama ada gabah dan senyum di wajah petani, saya akan terus berkeliling,” katanya penuh semangat.