Menyongsong Berlakunya KUHP Nasional

Dr. Firmansyah, SH., MH--
Paradigma baru ini merupakan visi KUHP Nasional yang tidak lagi menggunakan hukum pidana sebagai pembalasan (keadilan retributif), tetapi berorientasi pada keadilan korektif, keadilan restoratif dan keadilan rehabilitatif yang berlaku universal di seluruh dunia. Visi lain KUHP Nasional adalah reintegrasi sosial. Artinya, pelaku tindak pidana selain dikenakan sanksi, juga rehabilitasi, sehingga bisa kembali dan diterima masyarakat.
Berbagai pembaruan dan perubahan mendasar dalam KUHP Nasional diletakan dalam kerangka politik hukum yang meliputi empat misi utama, yaitu : “demokratisasi hukum pidana”, “dekolonisasi”, “konsolidasi hukum pidana”, dan “harmonisasi”.
BACA JUGA:Dewan Dilarang Mencampuri Kegiatan Pelaksanaan SOPD
Ke-empat misi tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan hukum pidana dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Misi Pertama, Demokratisasi. Untuk menjamin berbagai kebebasan berdemokrasi, KUHP Nasional telah melakukan perubahan dengan formulasi pasal-pasal yang telah merujuk pada berbagai putusan Mahkamah Konstitusi.
KUHP Nasional sama sekali tidak melarang kebebasan berdemokrasi, kebebasan mengeluarkan pikiran, baik lisan maupun tulisan, kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi.
Misi Kedua, Dekolonisasi. Secara sederhana dekolonisasi diartikan sebagai upaya pembaruan KUHP Nasional dari nuansa kolonial. Hal ini terlihat jelas dalam Buku Kesatu KUHP Nasional, tidak lagi beroriantasi kepada kepastian hukum semata, melainkan juga menitikberatkan pada keadilan dan kemanfaatan.
BACA JUGA:27 Nama Penuhi Syarat Seleksi JPTP, Tunggu Rekomendasi BKN
Formulasi tujuan hukum dari Guztav Radbruch ini termaktub dalam Pasal 53 Ayat (2) KUHP Nasional yang menyatakan :
“Jika dalam menegakan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan”.
Artinya, apabila ada pertentangan antara undang-undang sebagai hukum positif maka keadilanlah yang diutamakan.
Kemudian, KUHP Nasional mengatur pedoman pemidanaan (standart of sentencing) yang tidak dikenal dalam KUHP Lama.
BACA JUGA:Angka Kemiskinan Muara Enim Turun 0,34 Poin
Standart of sentencing merupakan pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan putusan sehingga hakim dibatasi oleh pedoman pemidanaan tersebut.
Selain itu, adanya modifikasi alternatif pidana. Dalam konteks ini, kendatipun pidana penjara merupakan pidana pokok, tetapi bukanlah yang utama melainkan bersifat ultimum remedium (sarana terakhir) dengan persyaratan yang telah ditetapkan dalam KUHP Nasional.