RUU Perampasan Aset : Antara Harapan dan Tantangan

Dr. Firmansyah, SH., MH. (Advokat dan Dosen di Muara Enim) --
BACA JUGA:Terapkan Tumpang Sari Tanam Jagung dan Nanas
RUU Perampasan Aset ditujukan untuk mengejar aset hasil kejahatan, bukan terhadap pelaku kejahatan. Negara dapat merampas aset yang terkait dengan tindak pidana tanpa harus menunggu proses pidana yang membuktikan kesalahan pelaku (Pasal 2). Mekanisme ini dikenal dengan non
conviction based asset forfeiture (NBC).
Dalam literatur, pendekatan ini disebut In Rem, perampasan aset melalui proses perdata yakni proses hukum terhadap aset (benda), berbeda dengan proses pidana bersifat in personal (terhadap orang).
Kendati UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada Pasal 32 ayat (1), Pasal 33, Pasal 34, Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 38B ayat (2), telah mengatur perampasan aset tanpa pemidanaan melalui gugatan perdata oleh Jaksa Pengacara Negara.
Namun, masih terdapat kekosongan hukum terutama soal bagaimana perampasan aset dalam hal tersangka/terdakwa, meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya. RUU Perampasan Aset diharapkan dapat menutup celah hukum tersebut.
Pasal 5 ayat (1) dan (2) RUU Perampasan Aset, merinci mengenai aset tindak pidana yang dapat
dirampas meliputi : Aset yang diperoleh dari tindak pidana baik langsung maupun tidak langsung dan Aset yang digunakan melakukan tindak pidana. Jenis aset lain yang dapat di rampas adalah “unexplained wealth”, yakni aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan, yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehan secara sah.
BACA JUGA:Pemprov Sumsel Apresiasi Kinerja SP4N-LAPOR Muara Enim
RUU ini juga membatasi aset yang dapat dirampas hanya yang bernilai Rp100 juta atau lebih (Pasal 6 ayat (1).
Pembatasan ini dimaksudkan agar dalam kondisi “normal”, misalnya pelakunya dapat disidangkan, kasus tetap diproses lewat hukum acara pidana biasa yang lebih menjamin hak tersangka/terdakwa dan menuntut akuntabilitas negara membuktikan kesalahan pelaku.
Sekilas, inilah terobosan utama yang bisa “memiskinkan koruptor”. Namun, perampasan aset hanya dapat dilakukan dalam kondisi terbatas yang diatur dalam Pasal 7, yakni jika : (a) tersangka/terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaanya; (b) terdakwa
diputus lepas dari segala tuntutan hukum : (c) perkara pidanannya tidak dapat disidangkan; atau (d) terdakwa diputus bersalah, namun di kemudian hari diketahui ada aset tindak pidana yang belum dirampas. Artinya, jika seorang pejabat yang kaya raya dengan harta tak wajar, namun bisa hidup sehat dan bisa diadili secar fisik, RUU ini tidak bisa digunakan.
BACA JUGA: Sumsel Siap Ubah Peta Ekonomi Indonesia, Dari Tol Hingga Energi Hijau