Kedudukan Tanah dalam Hukum Adat
Kedudukan Tanah dalam Hukum Adat--
Istilah Pertuanan digunakan untuk menunjukkan Tanah dengan hak Ulayat.
Masing masing masyarakat hukum adat mempunyai Petuanan sendiri sendiri yang meliputi wilayah darat dan sebagian lautan sampai batas tertentu.
Masalah yang dihadapi sekarang adalah pada umumnya di Nusantara, hak Ulayat itu berkurang baik disebabkan oleh sudah banyaknya dilakukan transaksi baik oleh perseorangan maupun kelompok kelompok masyarakat terutama yang ada kegiatan industri baik pertanian maupun perkebunan terutama yang berskala besar, baik oleh pemodal asing maupun pribumi.
Disamping itu pula fungsi pimpinan informal sudah tidak mempunyai wibaws lagi akibat regulasi dari semua bidang pembangunan.
BACA JUGA:Kenapa Kota Pagaralam dan Kabupaten Muara Enim Terkenal Sebagai Lumbung Sayur Sumsel? Ini Rahasianya
Kita ambil contoh regulasi di bidang hukum setelah berlaku nya amendemen UUD RI 1945 khususnya pasal 18 B ayat 2 Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisional nya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara.
Pemerintah Republik Indonesia tidak secara otomatis memberi pengakuan tersebut.
Baik dalam Pasal 28 I ayat 3 Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 maupun berbagai undang-undang organik nya terdapat berbagai klausa klausa dan syarat syarat yang bersifat limitatif bagi pengakuan eksistensi hukum adat.
Klausa yang terdapat dalam Pasal 28 I ayat 3,Tap. MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) No XVII tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Undang Undang no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) adalah:
BACA JUGA:Rahasia di Balik Dominasi Kabupaten Muba sebagai Raja Sawit Sumsel, Kenapa Bisa Unggul?
1. Sepanjang masyarakat hukum adat itu masih ada;
2. Sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban.:
3. Sesuai dengan perinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4. Diatur dalam undang-undang.