Doni Monardo
Momen ketika Dahlan Iskan bertemu dengan Doni Monardo, saat almarhum menjabat Ketua BNPB.----
Setelah menjalani berbagai tes saya diizinkan masuk ke ruang kerjanya. Itu adalah juga tempat tinggal beliau. Selama menjadi komandan pengendalian Covid-19 beliau tidak pernah pulang. Tidur di sebelah ruang kerja itu: tempat tidur lipat yang biasa dipakai di barak tentara. Waktu beliau habis untuk urusan Covid-19. Siang-malam.
Itulah Doni Monardo. Anak Minang yang lahir di Cimahi, dekat Bandung. Ayahnya tentara. Pindah-pindah. Pun Doni. Ia menyelesaikan SMA-nya di Padang. Lalu masuk akademi militer di Magelang. Angkatan 1985.
Pangkat terakhir Doni lebih tinggi dari peraih Adhi Makayasa tahun itu: I Made Agra Sudiantara. Doni bintang tiga. Made bintang dua.
Made juga tidak pernah jadi pangdam. Sedang Doni dua kali jadi pangdam: di Pattimura, Maluku dan di Siliwangi, Jawa Barat.
Made meninggal dunia di umur 50 tahun, sekitar 10 tahun lalu. Doni meninggal di usia 60 tahun 3 Desember tahun ini.
Di semua jabatannya itu Doni seperti habis-habisan. Namanya pun menjadi lebih besar dari jabatannya –untuk meminjam istilah Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Farid Makruf yang sebentar lagi pindah ke Jakarta menjabat Kaskostrad.
Waktu jadi pangdam Siliwangi, Doni menjalankan proyek besar sekali di bidang lingkungan hidup: membersihkan alur sungai Citarum. Menyeluruh. Di sepanjang wilayah Jawa Barat. Tidak hanya sungainya yang dibersihkan. Pinggirnya juga dihijaukan. Agar erosi yang masuk Citarum terkendali.
Doni adalah pecinta pohon. Levelnya: gila tanaman. Doni-lah yang menanam begitu banyak trembesi di lingkungan bandara Lombok. Setiap ke bandara Lombok saya seperti bertemu Pak Doni. Pun di bandara Hasanuddin Makassar. Penuh pohon trembesi. Doni-lah yang menanamnya.