Kedua, Pembuktian terbalik (Reversal of Proof) : Ini adalah salah satu poin paling kontroversial. Dalam RUU ini, jika ada aset yang diduga kuat berasal dari tindak pidana, maka pemilik asetlah yang harus membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal atau sah. Jika pemilik tidak dapat membuktikan, maka aset dapat dirampas oleh negara.
Berbeda dengan pembuktian hukum pidana konvensional, dimana beban pembuktian ada pada penuntut umum.
BACA JUGA:Kalium Humat: Dari Batu Bara Lahir Pangan, Riset UGM-PTBA Buka Jalan Pertanian Masa Depan
Mekanisme perampasan in rem, titik tekannya adalah mengungkap hubungan antara aset dengan tindak pidana, bukan hubungan antara aset dengan pelaku. Model pembuktian dalam perampasan in rem adalah pembuktian secara formil. Padahal Pasal 39 ayat (1) KUHP hanya mengatur aset yang dirampas oleh negara adalah benda sitaan hasil dari tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Inilah kemudian dikatakan bahwa RUU Perampasan Aset
masuk kualifikasi hukum acara pidana khusus.
Meskipun mekanisme perampasan aset tanpa tuntutan pidana merupakan terobosan hukum, tetapi memiliki tantangan yang sangat krusial. Pertama, terkait dengan hak asasi manusia yang termaktub dalam Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun”.
BACA JUGA:7 Negara yang Memiliki Mata Pelajaran atau Program Bahasa Indonesia
Perlindungan terhadap aset seseorang dari kesewenang-wenangan, sebagai salah satu ciri negara hukum (rule of law). Perampasan aset tanpa ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, melanggar asas praduga tidak bersalah serta bertentangan dengan konstitusi. Kedua, dalam RUU ini, kewenangan pengelolaan aset yang diperoleh dari perampasan dilakukan oleh Jaksa Agung (Pasal 17). Pengaturan ini menimbulkan dualisme dan berpotensi disalahgunakan.
Sesuai KUHAP dan aturan pelaksananya, aset sitaan dikelola oleh Rumah Penyimpanan Benda
Sitaan Negara (RUPBASAN) di bawah Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan.
Idealnya disamakan dengan lembaga yang mengelola barang sitaan yang sudah diatur dalam KUHAP.
BACA JUGA:Di Sumsel Banyak Proyek Ambisius: Dari Infrastruktur Jalan Tol hingga Energi Modern
Ketiga, paralel dengan RUU KUHAP yang saat ini dalam pembahasan di DPR, RUU Perampasan Aset sebagai hukum acara pidana yang bersifat khusus harus diharmonisasikan dengan RUU KUHAP agar tidak menimbulkan hambatan dalam implementasinya.
Keempat, adanya kekhawatiran penerapan prinsip pembuktian terbalik (reversal of proof) yang apabila tidak dilakukan pengawasan ketat berpotensi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum atau dijadikan alat untuk menekan warga masyarakat.
BACA JUGA:Sampai 5 Kata: Inilah 4 Kabupaten di Sumsel Miliki Nama Panjang
RUU Perampasan Aset adalah instrumen yang sangat dibutuhkan untuk memperkuat sistem hukum pidana. Keberhasilannya bergantung pada bagaimana pembahasan RUU ini agar implementasinya tidak mengalami hambatan. Jika RUU ini disahkan dengan hati-hati dan didasarkan pada prinsip keadilan, ia akan menjadi senjata mematikan untuk memiskinkan koruptor. Tetapi jika tidak, RUU ini berpotensi melanggar hak asasi manusia karena dapat disalahgunakan oleh aparat penegak hukum untuk kepentingan tertentu.