Menikah Tak Harus Mewah: Fenomena Intimate Wedding dan Realitas Anak Muda

Mukmin Ibnuarga R (Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung asal Prabumulih, Sumsel). Foto: mukmin--

Di tengah harga rumah yang makin tak terjangkau, cicilan kendaraan, dan kebutuhan hidup lain, menyisihkan dana pernikahan untuk masa depan terasa jauh lebih bijak.

Kenapa Menikah Harus Mahal?

Sayangnya, belum semua orang bisa dengan mudah mengambil pilihan itu. 

BACA JUGA:6 Alasan yang Wajib Anda Tau Jika Pisah Rumah dengan Orang Tua Setelah Menikah

Tekanan dari keluarga besar, adat istiadat, bahkan omongan tetangga bisa jadi beban tersendiri. 

Di banyak daerah, pernikahan bukan cuma urusan dua orang yang ingin hidup bersama. Ia jadi ajang “muka keluarga”, unjuk eksistensi sosial, dan sering kali… ajang balas dendam gengsi.

Ambil contoh dalam budaya Jawa. 

Ada begitu banyak rangkaian prosesi yang dianggap penting: siraman, midodareni, akad, resepsi, hingga ngunduh mantu. Semua ini tentu memerlukan biaya dan energi besar. Dan ya, kadang bukan karena pasangan pengin, tapi karena “memang begitu adatnya”.

Namun begitu, kita juga nggak bisa serta-merta menyalahkan adat dan tradisi. 

BACA JUGA:Perbedaan Hidup Sebelum dan Setelah Menikah

Budaya adalah bagian dari identitas kita, dan dalam banyak kasus, memberi makna yang mendalam dalam proses sakral seperti pernikahan. 

Yang jadi soal adalah ketika budaya justru jadi beban—bukan nilai yang mempersatukan, tapi tuntutan yang memisahkan.

Realitas Baru, Pilihan Baru

Untungnya, zaman terus berubah. Internet dan media sosial membuka ruang baru bagi anak muda untuk melihat berbagai model pernikahan dari belahan dunia lain. 

Banyak pasangan kini lebih percaya diri untuk menikah dengan cara yang sesuai nilai dan kemampuan mereka sendiri.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan