Ekonomi Hijau dan Tantangan Pembangunan: Perspektif Indonesia Emas 2045

Three Febrianty Kesuma, Statistisi Ahli Muda BPS Kabupaten Muara Enim--
Oleh : Three Febrianty Kesuma, Statistisi Ahli Muda BPS Kabupaten Muara Enim
Urgensi transisi menuju ekonomi hijau semakin ditegaskan oleh komunitas internasional. Dampak perubahan iklim dan degradasi lingkungan telah terbukti mengancam pertumbuhan ekonomi dan sosial.
Pada Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan atau United Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD) di Rio de Janeiro, 2012, lahirlah dokumen The Future We Want yang menempatkan ekonomi hijau sebagai instrumen penting pembangunan berkelanjutan.
Meski belum ada definisi tunggal secara global, organisasi internasional memiliki pandangan serupa. United Nations Environment Programme, UNEP (2008) mendefinisikan ekonomi hijau sebagai model yang meningkatkan kesejahteraan manusia dan keadilan sosial sembari mengurangi risiko lingkungan.
BACA JUGA:Meroketnya Ekonomi Sumsel melalui Pelabuhan Sultan Dunia Ini: Logistik Lintas Negara Lancar
Green Economy Coalition menekankannya sebagai ekonomi yang menghadirkan kemakmuran bagi semua dalam batas daya dukung planet, berlandaskan prinsip kesejahteraan, keadilan, batasan planet, efisiensi, kecukupan, serta tata kelola yang baik.
Indonesia mengadopsi konsep ini melalui Bappenas, dengan menekankan pembangunan rendah karbon dan kebijakan ketahanan iklim sebagai “tulang punggung” ekonomi hijau. Paradigma ini tidak sekadar menghitung green GDP, melainkan upaya menyelaraskan investasi, infrastruktur, ketenagakerjaan, keterampilan, kesejahteraan sosial, dan kelestarian lingkungan.
Praktiknya telah diintegrasikan dalam RPJMN 2020–2024, sesuai mandat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Pasal 3.4 untuk memasukkan aksi iklim dalam pembangunan. Pergeseran dari brown economy menuju green economy berarti meninggalkan ketergantungan pada energi fosil menuju energi terbarukan, industri rendah karbon, serta ekonomi sirkular yang ramah darat dan laut.
Transisi ini menegaskan bahwa ekonomi, sosial, dan lingkungan tidak lagi berkompetisi, melainkan dapat berjalan harmonis.
BACA JUGA:Pelabuhan Internasional Ini Akan Bawa Sumsel Berlayar ke Dunia Global
Studi Bappenas memperlihatkan bahwa ekonomi hijau mampu mendorong pertumbuhan PDB rata-rata 6,1–6,5% hingga 2050, mengurangi intensitas emisi hingga 68% pada 2045, membuka 1,8 juta pekerjaan hijau, serta meningkatkan PNB sebesar 25–34% pada 2045.
Komitmen ini diperkuat melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP), di mana Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan mencapai 34% pada 2030, dengan dukungan pendanaan internasional sebesar USD 20 miliar.
Namun, realitas di lapangan masih menantang: pangsa energi terbarukan baru sekitar 12%, jauh dari target 23% pada 2025.