OPINI Kebijakan Larangan Study Tour: Refleksi Disharmoni Kepala Daerah Oleh: H. Albar Sentosa Subari

Surat edaran yang melarang kegiatan study tour sekolah. foto:Ist--

KORANENIMEKSPRES.COM - Kebijakan larangan study tour yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, telah memicu perdebatan yang melampaui ranah teknis pendidikan. 

Surat edaran yang melarang kegiatan study tour sekolah dengan alasan menghindari beban ekonomi bagi orang tua serta kurangnya kontribusi terhadap pembentukan karakter siswa, justru membuka babak baru dalam relasi kuasa di tingkat pemerintahan daerah.

Namun, yang menarik dari polemik ini bukan semata soal substansi larangan tersebut. 

Pro-kontra itu justru menyeruak karena penolakan keras datang bukan dari masyarakat, bukan pula dari pelaku pariwisata yang memang terdampak, tetapi justru dari sesama kepala daerah di lingkungan Provinsi Jawa Barat.

BACA JUGA:Pandangan Islam Tentang Bunuh Diri

BACA JUGA:Wajib Dicoba Inilah Manfaat Minuman Serai, Jeruk Nipis dan Jahe

Enam kepala daerah mulai dari Walikota Bandung hingga Bupati Sumedang secara terbuka menyatakan tidak akan mengindahkan larangan gubernur. 

Mereka memilih tetap memperbolehkan sekolah-sekolah di wilayahnya melakukan study tour, karena dinilai masih memberi manfaat dan merupakan bagian dari otonomi daerah masing-masing.

Inilah wajah dari realitas sistem pemerintahan pasca reformasi. 

Ketika Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada, maka mereka pun merasa memiliki legitimasi yang setara. 

BACA JUGA:Marching Band Bukit Asam Ukir Prestasi Gemilang

BACA JUGA:Inilah Deret Tol di Sumsel Berkontribusi Besar Balikkan Ekonomi Negeri

Padahal secara konstitusional, Gubernur juga memegang peran sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, bukan sekadar kepala daerah biasa. 

Dalam praktiknya, fungsi ganda ini kerap menimbulkan ketegangan struktural maupun emosional.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan