Masyarakat (Hukum) Adat, Disuruh Lari Tapi Kakinya Masih Terikat

Oleh: H. Albar Sentosa Subari (Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan) Marshal (Pemerhati Sosial dan Hukum Adat Indonesia). foto:Ist--

Pemerintah pusat seolah enggan melepas kontrol. 

Ini tergambar dalam konstruksi regulasi yang menempatkan pengakuan masyarakat adat hanya di lingkup desa atau pemerintahan terendah. 

BACA JUGA:Dari Tol Pertama di Sumbar yang Mulai Berbayar Ini Negara Lukis 3 Rekor dan Sejarah Baru

BACA JUGA:Budidaya Ayam Petelur, Solusi Ekonomi Masyarakat Desa

Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan PP Desa seperti menyempitkan ruang gerak masyarakat hukum adat, seolah mereka hanya eksis sejauh desa adat yang diatur oleh kepala desa.

Sementara kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kesatuan masyarakat adat bisa melintasi batas desa, bahkan kabupaten. 

Di Sumatera Selatan misalnya, eksistensi Marga sebagai sistem sosial dan hukum masih bertahan di banyak wilayah, dan tak bisa hanya didekati lewat logika administratif desa.

Janji negara untuk melahirkan UU Masyarakat Hukum Adat yang komprehensif sebagaimana pernah disampaikan oleh Presiden SBY tahun 2006 hingga kini belum juga diwujudkan. 

BACA JUGA:Motif Batik Lemang Produk UMKM Khas Muara Enim

BACA JUGA:Edukasi Pelajar Bebas Narkoba dan Pergaulan Bebas

Penantian panjang ini sudah cukup melelahkan. Sudah saatnya janji tersebut ditagih dan dituntaskan.

Langkah konkret yang mendesak dilakukan saat ini adalah mendorong kabupaten/kota agar segera menyusun Perda tentang eksistensi masyarakat hukum adat. 

Tidak perlu menunggu instruksi dari provinsi. 

Sebab, dalam semangat otonomi daerah, kewenangan itu sudah menjadi hak kabupaten/kota sebagai pelaksana desentralisasi.

BACA JUGA:Hj Apriyanti Ahmad Yani Resmi Nahkodai DWP Muara Enim Masa Bakti 2024-2029

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan