Budaya Ingin Menang Merusak Rasa Keadilan
--
ENIMEKSPRES.CO - Hukum sebagai bagian dari hasil cipta, karsa dan rasa manusia di dalam hidup suatu komunitas masyarakat hukum, akan selalu berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan zaman dan teknologi.
Ki Hadjar Dewantara dalam membuat kebudayaan nasional harus memiliki sifat " tri Kon".
Sehingga dia merupakan suatu hasil Budi dan Daya Manusia dalam menghadapi tantangan alam dan zaman.
Demikian juga hukum baik tertulis maupun tidak tertulis.
Pada zaman klasik, hukum dalam keotentikannya selalu diidentikkan dengan keadilan, maka bicara hukum sama makna nya dengan berusaha menghadirkan keadilan sebagai bagian dari kebutuhan spiritual manusia ( Koentjaraningrat guru besar Antropologi Budaya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam bukunya berjudul Metodologi Antropologi, yang merupakan dari Pati disertasi nya mengatakan bahwa spritual adalah merupakan satu diantara sembilan ciri kebudayaan).
Akan tetapi, pemikiran jernih dan mulia tersebut, khususnya pasca reformasi teramat sulit dijumpai di negeri tercinta ini.
Pada masa lalu baik orde baru maupun orde reformasi, hukum sebagai budaya lebih condong masuk ranah yang terfokus pada subtansial dan prosedural.
Mulai dari titik ini, maka perjalanan hukum baca budaya di dalam kehidupan bersama menjadi cabang. Cabang pertama adalah hukum untuk keadilan subtansial, sementara cabang kedua adalah hukum untuk kemenangan.
BACA JUGA:Rumah Sakit Indonesia Jadi Target Israel Berikutnya
Cabang pertama, merujuk pada penjelasan UUD 1945 ( naskah asli), bahwa sebenarnya kosmologi Indonesia adalah kekeluargaan, dan bukan individual.
Walaupun sifat " kekeluargaan dan individual" disebut sebagai berpasangan, namun sifat kekeluargaan lebih diunggulkan.
Kenapa demikian, dan apa buktinya.
Alam perspektif filsafat holisme, masyarakat kita cenderung untuk tidak memisahkan seseorang dari konteks sosial nya, bahkan merasa hidup dan kehidupannya nyaman ketika bersatu dengan alam-lingkungan dan Sang Pencipta.