Budaya Ingin Menang Merusak Rasa Keadilan

--

BACA JUGA:Usai Raih Adiwiyata Nasional, SDN 7 Lawang Kidul Siap ke Mandiri

Hal demikian tidak lepas dari peran para penegak hukum, khususnya hakim yang masih memegang teguh kosmologi kekeluargaan dan mengedepankan keharmonisan.

Atas putusan hakim, tidak ada yang merasa kalau atau menang akan tetapi Keadilan subtansial yang diberikan kepada para pihak.

Dengan kata lain, hukum dan pengadilan masih berorientasi kepada Keadilan subtansial.

Apa yang terurai di atas sungguh berbeda dengan cabang kedua dari hukum positif ( tertulis dan tidak tertulis) kita.

BACA JUGA:Tri Wahyudi Saleh Jabat Direktur Pemasaran Pupuk Indonesia

Terkait dengan menyeruaknya paham individu liberalisme yang semasa penjajahan dibawa oleh kolonial dan pada era reformasi hadir bersama masuknya globalisasi, maka secara pelan tapi pasti paham itu menggeser paham holisme.

Di sini kata PERSEORANGAN memiliki posisi yang strategis dan selalu diunggulkan.

Individualisme ini menempatkan seseorang pada posisi tertinggi.

Tentu ini akan mengganggu stabilitas bangsa dan negara.

BACA JUGA:Bahas Potensi dan Kemajuan Daerah

Ambil saja misalnya lahir undang undang tentang cipta kerja.

Di situ yang diutamakan adalah hak individual guna mencapai keuntungan yang sebesar besarnya dengan mengenyampingkan rasa keadilan (Kasus pulau Rempang misalnya) yang masih dalam ingatan kita yang sempat menimbulkan adanya rasa kesukuan yaitu terusiknya suku Melayu khususnya.

Yang kita ingat bahwa bahasa Melayu merupakan cikal bakal bahasa Indonesia yang termuat dalam kebulatan tekad pemuda saat itu yaitu berbahasa satu bahasa Indonesia.

Peristiwa tersebut tercatat dalam sejarah pergerakan Indonesia yang disebut hari SUMPAH PEMUDA, 28 Oktober 1928. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan