PTBA Diminta Hentikan Penggusuran Lahan Pembangunan CHF 6 & 7

MEDIASI : Rapat Mediasi penyelesaian permasalahan lahan masyarakat dasa Darmo dan PT Bukit Asam Tbk terkait dengan pembangunan Coal Handling Facility dan Train Loading Station (CHF TLS) 6 dan 7 di area Banko Tengah.--

///Polri Tarik Personil Hindari Bentrok

KORANENIMEKSPRES.COM,MUARA ENIM - Buntut penggusuran lahan yang diusahakan warga Desa Darmo oleh PT Bukit Asam Tbk (PTBA)

untuk pembangunan Coal Handling Facility dan Train Loading Station (CHF TLS) 6 dan 7 di area Banko Tengah, Kecamatan Lawang Kidul, Pemkab Muara Enim meminta untuk dihentikan sementara sampai ada solusi terbaik bagi kedua belah pihak dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Hal tersebut terungkap pada saat rapat Mediasi penyelesaian permasalahan lahan masyarakat dasa Darmo dan PT Bukit Asam Tbk terkait dengan pembangunan CHF 6 & 7 yang dipimpin oleh Bupati Muara Enim yang diwakili Asisten Pemerintahan dan Kesra Drs H Emran Thabrani MSi di ruang rapat Serasan Sekundang Muara Enim, Kamis 24 Juli 2025.

Dalam rapat tersebut juga dihadiri Ketua DPRD Muara Enim, Kapolres Muara Enim, Ketua, Kepala BPN Muara Enim, Perwakilan Kejari Muara Enim, Perwakilan BPKP Sumsel, Perwakilan PT MHP, Perwakilan PTBA, Perwakilan KJJP secara virtual, Perwakilan Dinas Kehutanan Sumsel, dan para OPD terkait. Sedangkan dari pihak warga Desa Darmo diwakili kuasa hukum Dr Conie Pania Putri SH MH dkk dan Kades Darmo.

BACA JUGA:PTBA Dukung UMKM Naik Kelas Melalui Pelatihan Kemasan Produk Inovatif

"Bapak bayangkan ketika dilokasi penggusuran, PTBA dikawal oleh aparat bersenjata lengkap, sedangkan warga memegang sajam. Ini sangat rawan bentrok dan pertumpahan darah. Sebab mereka melihat lahan produktif warga digusur tanpa ganti rugi," tegas Conie yang merupakan asli putri daerah Desa Darmo ini.

Menurut Conie, Kuasa hukum dari 290 warga Desa Darmo, mengatakan persoalan ini sudah berlangsung sejak tahun 202 namun tidak kunjung selesai untuk masalah ganti ruginya.

Hal ini dikarenakan, pihak PTBA setelah mereka melakukan konsultasi dengan berbagai pihak terkait tetap berpegang teguh akan memberikan biaya kerohiman bukan ganti rugi dengan alasan lahan tersebut masuk kawasan hutan. 

Dan jika memang akan dilakukan ganti rugi mereka akan mengacu dengan Perpres No : 78 tahun 2023 bukan Pergub Sumsel No 40 Tahun 2017. Padahal, Perpres No : 78 tahun 2023 tersebut adalah asalnya dari Perpres 62 tahun 2018 tentang penanganan dampak sosial Kemasyarakatan dalam rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional.

BACA JUGA:Hakim Tolak Gugatan Pasutri Atas Lahan PTBA-BSP

"Jadi kita tidak boleh sepotong-potong menafsirkan peraturan tetapi harus secara menyeluruh sehingga tidak salah dan ada yang dirugikan dikemudian hari," tegas lowyer dan dosen UMP ini.

Lanjut Conie, bahwa selama ini masyarakat sama sekali tidak tahu bahwa lahan tersebut masuk dalam kawasan hutan atau milik negara. Tidak pernah ada sosialisasi atau ajakan diskusi dari pemerintah kepada warga dalam proses penetapan status kawasan itu.

Padahal, lahan yang dipermasalahkan sudah dikelola warga secara turun-temurun sebelum Indonesia Merdeka dan menjadi sumber penghidupan utama, seperti kebun karet yang masih produktif hingga kini.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan