Undangan gubernur yang tidak dihadiri bupati atau walikota, misalnya, adalah cerminan betapa renggangnya relasi antar pemangku kepentingan ini.
BACA JUGA:Polres Muara Enim Tindak Tegas Pelanggaran Berat Etika Profesi
BACA JUGA:Tanam 100 Batang Jagung di Pekarangan
Rasa "sama-sama dipilih rakyat" sering kali menempatkan mereka dalam posisi kompetitif, bukan kolaboratif.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka potensi konflik kebijakan akan terus berulang.
Satu sisi membuat kebijakan publik atas nama rakyat, sisi lain menolak dengan dalih otonomi yang juga sah menurut undang-undang.
Maka, perlu kiranya dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap struktur dan fungsi pemerintahan daerah saat ini.
BACA JUGA:2 Jam Saja Palembang-Jambi, 442 Km Tol Jambi-Padang Menanti
BACA JUGA:Sukses Negara Persembahkan Tol Pertama di Sumbar yang tak Lagi Gratis, Lanjut Tol Kedua
Salah satu gagasan yang patut dipertimbangkan adalah menjadikan gubernur semata sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah, bukan sebagai kepala daerah provinsi.
Dengan demikian, tidak perlu lagi pilkada gubernur, apalagi DPRD provinsi.
Otonomi penuh cukup berada di tingkat kabupaten dan kota, sementara gubernur hanya bertugas mengkoordinasikan dan menjalankan fungsi administratif pusat.
Dengan mekanisme seperti itu, gubernur akan lebih dihormati sebagai pejabat negara, bukan sekadar pesaing politik kepala daerah lainnya.
BACA JUGA:Muara Enim Raih PenghargaanTercepat Bentuk Posbankum se-Sumsel
BACA JUGA:Kades Aur Duri Terpilih Ketua Forum Kades
Pengangkatan dan pelantikan kepala daerah tetap melibatkan gubernur, namun tanpa tumpang tindih kewenangan yang selama ini memicu ego sektoral dan disharmoni birokrasi.